A.
Dampak
Emisi Karbondioksida (CO2) dan Mikroalgae
Emisi CO2 merupakan masalah yang dihadapi
setiap Negara di dunia.Indonesia adalah salah satu penyumbang CO2 terbesar
yang diakibatkan oleh kebakaran hutan, kendaraan, dan industri. Emisi yang
berlebihan akan menyebabkan terjadinya efek rumah kaca dan secara berkelanjutan
menyebabkan isu global warming. Menghadapi
peningkatan emisi CO2 diperlukan pengendalian lingkungan sebagai
upaya penyelamatan ekosistem.CO2 yang terlalu berlebihan
mengakibatkan perubahan iklim yang drastis dan berdampak buruk untuk
kelangsungan hidup ekosistem darat maupun laut.Dampak emisi CO2
berakibat dalam kelangsungan hidup biota laut. Banyaknya kadar CO2
akan mengakibatkan terjadinya pengasaman air laut, pemutihan terumbu karang,
peningkatan paras muka laut dan kepunahan spesies. Dampak lain yang terjadi
pada ekosistem darat yaitu kekeringan, iklim yang ekstrim, penyakit yang dapat
menyebabkan terjadinya kematian.
Peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer
bumi akibat pembakaran minyak bumi telah mencapai momentum dalam sistem iklim
yang memerlukan ratusan tahun untuk bisa dikurangi.Dengan laju peningkatan
konsentrasi CO2 seperti sekarang, pada tahun 2030-2040, konsentrasi
CO2 diperkirakan mencapai 450ppm. Nilai ini merupakan tingkat
maksimum yang dapat mempertahankan kenaikan suhu kurang dari 2ºC.Jadi bila kita
mentargetkan tingkat emisi sama atau kurang dari nilai ini, maka emisi karbon
harus mencapai puncaknya tahun 2015 dan setelah itu harus turun hingga
mendekati nol pada tengah abad ini. Penurunan emisi karbon dapat dilakukann
dengan revolusi energi.Komponen lingkungan salah satunya adalah faktor Iklim,
meliputi parameter iklim utama seperti cahaya, suhu, ketersediaan air dan
angin.Proses kehidupan dan kegiatan makhluk hidup termasuk tumbuh – tumbuhan
pada dasarnya akan dipengaruhi dan mempengaruhi faktor-faktor lingkungan,
seperti cahaya, suhu atau nutrien dalam jumlah minimum dan maksimum.
Topik penelitian tentang CarbonCapture
Storage (CCS) telah menjadi perhatian utama di kalangan ilmuwan dan
akademisi dalam kurun waktu 5-10 tahun belakangan ini. Topik ini pada tahun-tahun
mendatang diprediksi akan semakin menonjol mengingat semakin banyak pihak yang
tertarik pada teknologi ini dalam upaya pencegahan terhadap gejala pemanasan
global. Gas karbondioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca yang
dominan diduga sebagai penyebab dalam permasalahan pemanasan global (Schneider,
1989). Secara luas telah diketahui bahwa setiap aktivitas pembakaran bahan bakar
fosil, khususnya dari industri, akan menghasilkan emisi CO2 dalam konsentrasi
yang cukup tinggi (10-12%), yang membutuhkan penanganan yang serius. Karena
itulah dibutuhkan solusi teknologi untuk mengurangi tingginya emisi CO2 di
atmosfer. Berbagai metode dalam teknologi CCS telah diterapkan di dunia,
seperti penstabilan emisi CO2 menjadi bentuk cair untuk dinjeksikan ke formasi
geologi, Pengoksidasian emisi gas CO2 menjadi senyawa lain melalui sebuah artificial
tree, dan beberapa upaya fisika/kimia lainnya (Lipinsky, 1992).
Di Indonesia upaya penelitian tentang
CCS lebih berkembang ke arah teknologi secara biologi dengan mengunakan
fotobioreaktor (FBR). FBR merupakan reaktor yang dirakit dari bahan tembus
pandang (gelas, akrilic, plastik) yang dilengkapi dengan instalasi suplay media
dan emisi gas untuk mengkultur mikroalga dalam rangka penyerapan gas CO2.
Teknologi FBR yang diterapkan pada mikroalga dinilai efektif mereduksi emisi
CO2 karena kemampuan mikroalga dalam mengabsorbsi CO2 dalam proses fotosintesisnya
(Chen et al., 2006). Proses penyerapan CO2 oleh mikroalga terjadi pada
saat fotosintesis, dimana CO2 digunakan untuk reproduksi sel-sel tubuhnya. Pada
proses fotosintesis tersebut selain memfiksasi gas CO2, juga memanfaatkan
nutrien yang ada dalam badan air (Anderson, 2005). Nutrien dalam proses ini
dapat berasal dari material yang sengaja ditambahkan atau dapat juga berasal
dari material limbah cair. Penggunaan limbah cair sebagai input nutrien akan
mengurangi biaya operasional FBR sekaligus meningkatkan
performance FBR sebagai piranti penyerap emisi gas CO2 sekaligus memperbaiki kulitas limbah cair dalam suatu areal industri (Green et al., 1995). Beberapa keuntungan penggunaan alga dalam proses pengolahan limbah cair dalam industri antara lain, prinsip proses pengolahannya berjalan alami seperti prinsip ekosistem alam sehingga sangat ramah lingkungan dan tidak menghasilkan limbah sekunder. Keunggulan lainnya adalah pada proses ini daur ulang nutrien berjalan sangat efisien dan menghasilkan biomass yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan (De la noue et al., 1992). Sebaliknya, kelemahan dari pengunaan alga adalah prosesnya memakan waktu yang relatif lama, memerlukan cahaya dan beberapa fisiologi alga yang belum diketahui secara jelas (Guterstam dan Todd, 1990). Pusat Teknologi Lingkungan BPPT telah melakukan uji coba kultur mikroalga pada fotobioreaktor untuk menyerap CO2, baik pada alga jenis air tawar maupun air laut dalam skala batch dan kontinyu pada areal industri susu (Santoso et al., 2011).
performance FBR sebagai piranti penyerap emisi gas CO2 sekaligus memperbaiki kulitas limbah cair dalam suatu areal industri (Green et al., 1995). Beberapa keuntungan penggunaan alga dalam proses pengolahan limbah cair dalam industri antara lain, prinsip proses pengolahannya berjalan alami seperti prinsip ekosistem alam sehingga sangat ramah lingkungan dan tidak menghasilkan limbah sekunder. Keunggulan lainnya adalah pada proses ini daur ulang nutrien berjalan sangat efisien dan menghasilkan biomass yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan (De la noue et al., 1992). Sebaliknya, kelemahan dari pengunaan alga adalah prosesnya memakan waktu yang relatif lama, memerlukan cahaya dan beberapa fisiologi alga yang belum diketahui secara jelas (Guterstam dan Todd, 1990). Pusat Teknologi Lingkungan BPPT telah melakukan uji coba kultur mikroalga pada fotobioreaktor untuk menyerap CO2, baik pada alga jenis air tawar maupun air laut dalam skala batch dan kontinyu pada areal industri susu (Santoso et al., 2011).
Energi yang digunakan saat ini merupakan energi yang
tidak dapat diperbarui karena memanfaatkan fosil
fuel dan hasil pembakaran akan menghasilkan emisi CO2, CO, yang
tidak ramah lingkungan. Fosil fuel merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbarui,
semakin lama diambil akan habis. Sumberdaya alam yang telah habis tidak dapat
diperbarui sehingga menyebabkan kekurangan produksi energi seperti listrik dan
bahan bakar.Menjawab masalah yang ada dibutuhkan pemanfaatan sumberdaya alam
yang dapat diperbarui dan ramah terhadap lingkungan.Konsumsi
barang publik, seperti bahan bakar fosil, sering menimbulkan dampak eksternal
atau disebut sebagai eksternalitas.Secara umum eksternalitas diartikan sebagai
dampak baik positif maupun negatif dari tindakan satu pihak terhadap pihak lain
(net cost atau benefit).Kenyataannya kedua dampak tersebut dapat muncul
bersamaan dan terjadi secara simultan.Eksternalitas terjadi jika kegiatan produksi
atau konsumsi dari satu pihak mempengaruhi kegunaan (utilitas) pihak lain (tidak
diinginkan oleh pihak lain tersebut) dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan
kompensasi terhadap pihakyang terkena dampak (Septiarani, 2010).
Kaitannya dengan pembangunan
berkelanjutan (SustainableDevelopment), analisis jejak ekologi saat ini
telah banyak digunakan sebagai indikator keberlanjutan suatu lingkungan.Baik
jejak ekologi maupun jejak karbon dapat digunakan untuk mengukur besaran dampak
yang dihasilkan dari aktivitas manusia dalam mengkonsumsi sumberdaya alam yang
tersedia sehingga dapat dijadikan alat untuk perencanaan menuju pemanfaatan
sumberdaya alam secara berkelanjutan (Rees dan Wackernagel, 1996).Secara
spesifik dihubungkan dengan emisi karbon, jika jejak karbon diketahui, maka
strategi yang tepat untuk mengurangi emisi adalah melalui Carbon Diet atau
cara-cara seperti Life CycleAssessment (LCA), identifikasi konsumsi
energi yang terkait dengan emisi CO2, optimalisasi energi untuk mengurangi
emisi CO2 dan gas rumah kaca lainnya (Dhewantara, 2010).Analisis Ecological
Footprint sangat bermanfaat sebagai indikator berkelanjutan. Dengan
mengetahui total konsumsi yang dibutuhkan serta hasil buangan (emisi) yang
dikeluarkan, dapat memberi pemahaman yang jelas, betapa biokapasitas bumi
semakin tertekan. Kecepatan ektraksi manusia terhadap lingkungan jauh lebih
tinggi dibandingkan kecepatan kemampuan daya dukung bumi menyerap /
asimilasi.Oleh karena itu perlu adanya suatu perubahan pola hidup (lifestyle)
maupun kebijakan yang lebih efisien terhadap lingkungan demi keberlanjutan
hidup yang diharapkan (Dapas, 2015).
Pola perubahan hidup yang dapat dilakukan untuk
menurunkan emisi CO2 yaitu dengan cost minimum dan benefit yang
maksimum. Salah satu yang bisa digunakan adalah penggunaan mikroalga dalam
bioreaktor.Mikroalga merupakan organisme tumbuhan
yang paling primitif yang berukuran renik, dan hidup di seluruh wilayah
perairan, baik air tawar maupun air laut.Mikroalga memang sudah lama
dipergunakan untuk industri farmasi, kesehatan dan sebagainya.Mikroalga diklasifikasikan
sebagai tumbuhan karena memiliki klorofil dan mempunyai suatu jaringan sel
menyerupai tumbuhan tingkat tinggi.Melalui pendekatan suatu skema klasifikasi,
spesies mikroalga dikarakterisasi berdasarkan kesamaan morfologi dan biokimia
(Diharmi, 2001).Semua sel mikroalga yang memiliki kloroplas berpotensi untuk
melangsungkan reaksi fotosintesis. Pada dasarnya, rangkaian reaksi fotosintesis
dapat dibagi menjadi dua bagian utama: reaksi terang (karena memerlukan cahaya)
dan reaksi gelap (tidak memerlukan cahaya tetapi memerlukan karbon dioksida)
(Taiz dan Zeider, 2002).
B. Bioreaktor
Bioreaktor (fermentor) merupakan bejana
fermentasi aseptis untuk produksi
senyawa oleh mikrobia melalui fermentasi. Kendala yang timbul adalah terjadinya
kontaminasi selama proses fermentasi terutama bila sistemnya berkesinambungan
(kontinyu). Bioreaktor dirancang untuk proses fermentasi secara anaerob dan aerob.
Apakah sistem sekali unduh berkesinambungan atau nutrien terputus. Fungsi
bioreaktor adalah untuk rnenghasilkan produk oleh mikrobia baik kultur murni atau
campuran, yang dikendalikan menggunakan sistem komputer dalarn mengatur faktor lingkungan dan pertumbuhan serta kebutuhan nutriennya.
senyawa oleh mikrobia melalui fermentasi. Kendala yang timbul adalah terjadinya
kontaminasi selama proses fermentasi terutama bila sistemnya berkesinambungan
(kontinyu). Bioreaktor dirancang untuk proses fermentasi secara anaerob dan aerob.
Apakah sistem sekali unduh berkesinambungan atau nutrien terputus. Fungsi
bioreaktor adalah untuk rnenghasilkan produk oleh mikrobia baik kultur murni atau
campuran, yang dikendalikan menggunakan sistem komputer dalarn mengatur faktor lingkungan dan pertumbuhan serta kebutuhan nutriennya.
Rancangan dan kontroksi bioreaktor perlu
diperhatikan tentang bejana harus dapat dioperasikan dalam jangka waktu lama, serasi
dan agitasi memadai untuk kelangsungan proses metabolik mikroba, sistem kontrol
suhu, pH dan penambahan nutrien, bejana harus dapat dicuci dan disterilisasi
fasilitas sampling harus ada konsumsi tenaga serendah mungkin, bahan kontroksi
rnurah dan evaporasi diusahakan tidak terlalu besar. Macam-macam bioreaktor ada
empat yaitu: Bioreaktor tangki adukan (stirred tank bioreaktor), kolum
gelembung (Bubble columbioreaktor), dengan pancaran udara (Airlift bioreaktor)
dan bioreaktor terkemas padat (Packed bed bioreaktor).
Bioreaktor dirancang dengan menggunakan
prinsip resirkulasi, dengan mikroalga beserta medianya diresirkulasikan untuk
berfotosintesis dengan debit aliran dari bioreaktor adalah 0.6 liter/menit.
Perancangan bioreaktor sederhana ini telah memenuhi syarat tumbuh mikroalga
dengan nilai iluminasi cahaya, pH, suhu, dan salinitas masing-masing 1011-1800
lux, 7.2-8.3, 25-27 °C, 3.0-3.3% (Hermanto et al., 2011)
C.
Mikroalga
pada bioreaktor sebagai sumberdaya alam ramah lingkungan
Mikroalga adalah sumberdaya yang paling
efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi matahari dan CO2 untuk
keperluan fotosintesis.Ekplorasi yang besar-besaran perlu ditunjang dengan
peralatan yang digunakan untuk mengembangbiakkan mikroalga (Nurhayati et al,
2013).Mikroalga merupakan mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai bahan
baku biofuel. Beberapa biofuel yang dapat dihasilkan dari mikroalga yaitu hidrogen,
biodiesel (yang diperoleh melalui proses transesterifikasi), bioetanol (yang
diperoleh melalui proses fermentasi), dan biogas (Basmal, 2008). Namun
demikian, ada beberapa hal penting terkait dengan pemanfaatan mikroalga sebagai
bahan baku biofuel, yaitu proses produksi mikroalga, proses pemanenan
mikroalga, dan proses konversi biomassa menjadi biofuel (Skill, 2007). Penggunaan
mikroalga sebagai bahan baku biofuel mempunyai beberapa keuntungan jika
dibandingkan dengan tanaman pangan, di antaranya yaitu pertumbuhan yang cepat,
produktivitas tinggi, dapat menggunakan air tawar maupun air laut, tidak berkompetisi
dengan bahan pangan, konsumsi air Biodiesel dan bioetanol dari mikroalga bukan merupakan
produk yang saling berkompetisi, tetapi merupakan satu kesatuan sistem produksi
(Harun et al., 2009).
Komentar
Posting Komentar